Jumat, 28 Desember 2012

5cm versi Absurd

     Beberapa minggu kemarin film "5cm." cukup menghebohkan jagad perfilman Indonesia. Kurang dari 10 hari film itu diputar penontonnya udah nyampe 1,1 juta orang ! Dan salah satu dari penonton itu adalah gue. Iya, gue yang selama ini enggak pernah nonton di bioskop akhirnya belain nonton juga demi itu film. Ini semua gara-gara gue baca bukunya. Awalnya juga gue nggak sengaja beli bukunya, karena gue bukan tipe orang yang suka baca buku setebal itu. Tapi entah kenapa ada koneksi yang tidak lazim begitu gue ngeliat buku itu di Gramedia salah satu Mall di Bekasi. Akhirnya mau nggak mau gue beli juga itu buku.

ini dia penampakannya

     Dan karena udah baca bukunya, nggak afdol kalau gue nggak liat filmnya juga. Alhasil pas tanggal 15 kemaren gue dateng ke bioskop buat nonton filmnya... sendirian :| #miris


serba 15

     Ada satu adegan difilm itu yang paling gue inget. Yaitu pas Zafran lagi ngeliatin bodynya Arinda dari belakang dan dihasut sama malaikat jahat, terus tiba-tiba ibunya Arinda nanya gini, "mau minum apa, nak Zafran?" dan refleks Zafran jawab "G-string, tante." Asli, adegan itu bikin semua orang didalam bioskop ngakak, men! :D 
     Tapi disini gue enggak mau menjelaskan tentang bagaimana isi film itu,i gue akan menceritakan tentang "5cm." versi gue sendiri. Sebenernya orang-orang yang bakal gue tulis disini udah 2x gue tulis, yaitu DISINI dan DISINI. Tapi kali ini gue bakal mengaitkan mereka dan diri gue sendiri dengan karakter yang ada di film "5cm." And here they are..

1. Wendi


     Yang pertama ada Wendi yang menurut gue mirip sama Genta biarpun mukanya beda jauh, sih. Seperti yang kita tau, Genta itu adalah leader bagi pasukan yang menamakan dirinya "Power Rangers" ini, tapi mereka sama sekali nggak pernah memilih dia buat jadi leadernya. Sama kayak si Wendi ini, buat kita dia adalah leader dan selalu bisa memimpin kita kalau ada masalah atau mau nentuin tujuan buat nongkrong dan lain-lain.

2. Fatwa

  

     Yang kedua ada Fatwa yang gue samain kayak Arial. Kenapa gue bilang mereka mirip? Simpel, karena mereka itu badannya sama-sama gede, tapi kalo Fatwa lebih kearah gendut dan perutnya One Pack bukan Six Pack. Selain itu dia juga pribadi yang santai sama kayak Arial di film itu.

3. Vany



     Selanjutnya ada Vany yang gue samain kayak Ian. Memang sih mereka berbeda dalam hal gender, tapi kan mereka sama-sama punya badan yang gede. Dan juga si Vany ini suka makan Indomie, jadi cocok kan kalau gue bilang mereka sama?

4. Merisah



    Keempat ada Merisah yang gue samain sama Arinda adiknya Arial. Agak enggak matching sih tapi nggak apa-apa lah namanya juga absurd. Sifat dan pribadinya juga mirip sama si Arinda itu, jadi wajar kalau saya nyamain mereka.



5. Avinda


     Kelima ada Avinda yang menurut gue mirip sama Riani. Dia itu punya hidung mancung, rambut panjang, dan sifat yang bisa menjadi penengah buat kita kalau lagi ribut. Yaa biarpun warna kulit mereka berbeda, sih. Tapi at least dia ini emang cocok disamain kayak Riani.

6. Ibnu


     And the last ada gue sendiri, Ibnu alias Kepin yang mirip sama Zafran alias Juple. Kenapa gue bisa dibilang mirip sama dia? Karena dari segi tampang gue enggak kalah ganteng sama dia dan juga gue itu pemecah suasana. Kalau enggak ada gue pasti sepi, tapi kalau gue udah dateng dijamin bakal rame. Soalnya kan gue orangnya ganteng  humoris. Jangan protes ini udah kehendak Allah, karena emang gue terlahir kayak gitu. Oke? Sip.

    Itu dia hasil penelusuran antara para pemain film "5cm." dengan teman-teman dan gue sendiri. Mungkin ada yang protes tentang tulisan gue ini? Atau mungkin kalian punya versi sendiri? Terserah itu hak kalian, yang jelas inilah "5cm." versi gue, versi absurd :)

 5cm. versi absurd

Selasa, 18 Desember 2012

Ketika Hati Sudah Berbicara






     Mungkin kalimat pertama yang tepat untuk memulai tulisan ini adalah, “Cinta tidak mengenal jarak dan tempat”. Ya, aku merasakan sendiri makna dari kalimat itu. Cinta yang menurut beberapa orang mustahil dan ganjil. Cinta yang menurut beberapa lainnya hanyalah cinta semu. Dan cinta yang menurut sebagian lainnya cuma bualan belaka. Tapi bagiku cinta ini ada dan nyata didalam hati ini, senyata cintaku kepada orang yang pernah bersamaku dulu, jauh sebelum aku mengenalmu.
     Aku masih ingat bagaimana awalnya aku mengenalmu. Waktu itu secara tidak sengaja aku melihatmu di timelineku. Iya, kita bertemu di dunia maya, dunia yang bagi banyak orang adalah tempat menumpahkan keluh kesahnya. Dunia yang bagi beberapa lainnya adalah panggung untuk melakukan drama yang tidak bisa mereka lakukan di dunia nyata. Dan dunia yang bagi sebagian lainnya hanya ‘bumbu penyedap’ di kehidupan mereka. Tapi aku tidak peduli dengan apa yang mereka katakan.
     Aku termasuk orang yang masih percaya dengan adanya “Cinta pada pandangan pertama”. Dan saat itu ketika pertama melihatmu, aku menyukaimu. Aku suka isi tweetmu yang nyeleneh dan terkadang membuat aku tersenyum sendiri membacanya. Tapi yang paling aku suka dari kamu adalah senyuman difotomu, senyuman yang membuat aku betah berlama-lama melihatnya.
     Akhirnya aku klik ‘follow’ dan mulai berkenalan denganmu. Awalnya sih biasa saja kita berkenalan seperti layaknya orang yang baru pertama bertemu. Sampai pada suatu hari aku memberanikan diri untuk meminta nomor handphonemu, dan ternyata kamu tidak keberatan untuk memberikannya. Aku senang bukan main, dan disitulah awalnya kita mulai dekat. Sering smsan dan lain sebagainya. Aku berterima kasih kepada semesta karena telah mempertemukan aku denganmu.
     Tiga bulan sudah aku mengenalmu. Tiga bulan yang menurutku sudah cukup untuk menyatakan perasaan ini kepadamu. Perasaan yang awalnya hanya suka namun lambat laun berubah menjadi rasa sayang dan cinta. Memang kita belum pernah bertemu di dunia nyata, tapi bagiku mengenalmu lewat dunia maya saja sudah cukup. Dan aku berharap itu juga sudah cukup bagimu untuk mempunyai perasaan yang sama kepadaku.
     Ada sedikit rasa ragu ketika aku ingin menyatakan perasaan ini padamu. Aku takut kamu tidak mempunyai rasa yang sama kepadaku. Aku takut ketika aku sudah menyatakan semuanya, kamu akan pergi dan menjauh dari sisi ku. Aku takut, sungguh takut. Takut kehilanganmu, takut kehilangan sms manjamu, dan takut kehilangan mention darimu. Tapi satu yang paling aku takutkan, yaitu kehilangan senyuman manismu, yang khas dan tidak dimiliki oleh orang lain, bahkan seorang artis sekalipun.
     Tapi semua rasa takut itu aku tepiskan jauh-jauh. Apapun yang terjadi aku harus mengatakan ini. Segala sesuatu di dunia ini pasti ada resikonya, dan aku akan mengambil resiko itu. Seperti kalimat yang pernah aku baca disebuah buku, “Man gotta do what man gotta do.” Ditambah sebuah kalimat lagi yang aku baca dari buku lainnya, “Ungkapin aja, at least  lo akan lega, dan dia jadi tau. Hasilnya biar semesta yang nentuin.” Maka aku tambah yakin dan bertekad untuk mengatakannya, mengatakan semua isi hati ini yang tidak bisa berbicara langsung kepadamu. Isi hati yang semoga bisa meluluhkan hatimu.

     “Ketika tak ada lagi yang bisa kau percaya, ikuti kata hati.” Begitu seharusnya, bukan? :)


  

Link :

Minggu, 16 Desember 2012

Sebutlah Itu Cinta


     Namanya Sofia, dia gadis manis yang periang, lucu, bawel dan kadang suka galau. Pertama kali saya ketemu dia itu ketika kita sama-sama sekolah di salah satu SMA di kota Bandung. Cara perkenalannya pun cukup unik, saya masih suka tersenyum sendiri ketika mengingatnya. Waktu itu hari pertama sekolah dan saya terlambat datang, begitu juga dia. Kami berdua berlari menuju gerbang sekolah yang sudah mau ditutup. Tapi begitu sudah dekat dengan gerbang sekolah tiba-tiba kaki saya tersandung batu kerikil dan menabrak dia yang berlari didepan saya. Kami pun jatuh secara bersamaan. Alhasil kami terlambat masuk kelas.
     Penderitaan kami belum sampai situ, kami masih harus menjalani hukuman yang diberikan oleh kakak kelas karena memang waktu itu kami masih dalam kegiatan OSPEK. Setelah capek dibentak dan dihukum tiba waktunya untuk istirahat dan disitulah kami berkenalan walaupun awalnya kita agak gengsi.
     Oh iya, nama saya Calvin, tapi Sofia biasa panggil saya Kepin. Kata dia biar gampang dan mudah diingat. Saya juga manggil dia dengan sebutan Opi. Saya itu anak yang egois, keras kepala, tidak mau mengalah sama orang lain dan selalu ingin menang sendiri. Tapi itu dulu, ketika saya baru masuk SMA dan belum terlalu dekat dengan Sofia. Ya sedikit demi sedikit sifat saya berubah karena dia, itulah alasannya kenapa saya akrab sekali dengan dia. Hampir setiap hari kita selalu bersama, entah itu ke kantin, perpustakaan, nongkrong dan sebagainya. Makanya banyak yang menyangka kalau kita itu pacaran. Padahal nyatanya kita cuma sahabatan doang, nggak lebih.
     Tapi lambat laun hati saya mulai berontak jika dibilang kami hanya sahabat. Ada keinginan yang lebih didalam hati ini dari sekedar sahabat. Rasa suka ini perlahan berubah menjadi sayang dan kemudian cinta. Ya, saya mulai jatuh cinta kepada Sofia. Jatuh cinta karena perhatian dia, karena sikap dia dan karena dia yang selalu ada ketika saya membutuhkan dia. Tapi perasaan ini saya simpan rapat dalam hati, saya tidak mau mengungkapkannya karena saya tidak ingin kehilangan dia, orang yang sangat berarti buat saya.
      Sampai akhirnya malapetaka itu datang. Ketika itu Sofia menelpon saya dengan nada yang sangat gembira.
“Halo, Pin, kamu tau nggak aku seneng banget loh hari ini.”
“Oh ya, seneng kenapa, Pi?”
“Tadi kan aku abis jalan sama kak Dimas, diajak dinner gitu. Eh taunya aku ditembak sama dia. Aaaa seneng banget deh pokoknya.”
      Saya terhenyak untuk beberapa saat, kaget mendengar apa yang baru saja Sofia katakan. Seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja saya dengar.
“Woy! Kepin! Kamu kok diem sih? Enggak dengerin aku ngomong ya tadi?!”
“Eh, iya iya aku dengerin kamu kok. Hehe. Terus gimana kamu terima dia, Pi?”
“Ya iyalah aku terima, kan kamu tau sendiri kalo aku juga suka sama dia.”
      Kembali ada hening beberapa saat ketika saya mendengar jawaban dari Sofia.
“Heh! Diem lagi kan. Bukannya ngasih selamat atau apa kek gitu!”
“Kalo gitu selamat ya udah jadian sama dia. Eh udah dulu ya Pi aku mau ada perlu nih, bye.” Treq, telepon pun segera saya matikan, agar segera menghentikan pembicaraan ini. Sementara disana Sofia bingung karena tiba-tiba telponnya langsung dimatikan.
      Saya pun melamun diatas kasur, “Kenapa semua ini harus terjadi, Tuhan.” gumam saya. Memang sih sebulan terakhir ini Sofia lagi dekat sama Dimas dan setiap kali dia curhat pasti selalu ngomong tentang Dimas, sampai bosan saya mendengarnya. Sejujurnya saya tidak terlalu suka sama Dimas, karena dia itu anaknya begajulan dan suka gonta-ganti cewek alias playboy. Tapi saya tidak sampai hati untuk mengatakan itu pada Sofia, saya takut dia sakit hati dan saya enggak mau itu terjadi. Munafik memang, tapi itulah cinta. Seseorang akan melakukan apa saja demi cinta.
      Hari-hari saya selanjutnya terasa begitu berbeda karena sekarang saya sudah jarang bersama dengan Sofia lagi. Dia terlalu sibuk dengan pacarnya, sampai enggak ada waktu buat nemenin saya walaupun hanya sekedar belajar bersama. Ada perasaan yang aneh ketika saya tidak bersama dia, seolah separuh jiwa saya kosong, menghilang entah kemana.
      Sampai pada suatu hari ketika saya sedang mencari buku di sebuah pusat perbelanjaan saya melihat Dimas sedang jalan bergandengan tangan dengan cewek lain. Sontak saya kaget, karena waktu itu dia masih berstatus pacarnya Sofia. Akhirnya saya telpon Sofia untuk memberitahu kalau si Dimas sedang jalan dengan cewek lain.
 “Halo, Pi, kamu lagi dimana?”
“Dirumah, kenapa emang, Pin?”
“Tadi aku liat Dimas lagi jalan sama cewek, Pi. Aku kira itu kamu tapi ternyata bukan.”
“ Oh, haha, iya Pin tadi Dimas emang ijin sama aku mau nganterin mamahnya ke Mall.”
“Tapi cewek ini masih muda, Pi, jelas banget dia bukan mamahnya Dimas!”
“Jangan ngawur kamu Pin, enggak mungkin Dimas selingkuh! Udah deh jangan ngasal!” Sofia pun menutup telponnya karena marah kepada saya.
      Saya yang tidak ingin Sofia punya pacar brengsek akhirnya memfoto semua kejadian itu dan berniat memperlihatkannya pada Sofia di sekolah.
      Besoknya sepulang sekolah, ketika Sofia sedang berjalan dengan Dimas, saya pun menghampiri mereka dan memperlihatkan foto-foto tersebut. Dimas kaget melihat foto itu dan langsung meninju muka saya agar tidak berbicara lebih banyak lagi. Saya yang tidak siap menerima pukulan itu terjerembab ke belakang, tapi kemudian saya bangkit dan balik menghajar dia. Akhirnya terjadilah perkelahian antara saya dan Dimas. Setelah dilerai oleh beberapa orang, perkelahian pun berhenti dan Sofia mendekati saya. PLAK! Dia menampar saya tanpa berkata apapun dan kemudian pergi menuju Dimas.
      Saya yang masih emosi kemudian berkata “Aku sayang sama kamu, Pi. Dan rasa sayang ini udah melewati batas sahabat, aku cinta kamu, makanya aku ngelakuin ini semua karena enggak mau kamu punya pacar kayak dia.” Kata-kata itu seolah keluar begitu saja dari mulut saya, mewakili hati yang tidak bisa mengucapkannya secara langsung.
      Sofia kaget mendengar itu dan balik bertanya “Kamu serius ngomong kayak gitu, Pin?”
“Aku serius Pi. Tapi itu semua udah enggak ada artinya lagi karena kamu lebih memilih dia kan daripada aku.” Setelah berkata seperti itu saya pun pergi meninggalkan mereka dengan membawa hati yang terkoyak luka.
      Setelah kejadian itu saya pun menjauh dari kehidupan Sofia. Setiap saya bertemu atau berpapasan dengan dia selalu saya buang muka dan sebisa mungkin tidak melihat dia. Tidak ada lagi tawa renyah dari gadis manis itu, tidak ada lagi cubitan mesra dan pukulan manja dari dia. Sekarang, yang tersisa hanya luka dan kenangan. Tapi saya bertekad untuk melaluinya sendiri, tanpa ada nama dia lagi disini, di hati ini.

Bersambung...