Minggu, 16 Desember 2012

Sebutlah Itu Cinta


     Namanya Sofia, dia gadis manis yang periang, lucu, bawel dan kadang suka galau. Pertama kali saya ketemu dia itu ketika kita sama-sama sekolah di salah satu SMA di kota Bandung. Cara perkenalannya pun cukup unik, saya masih suka tersenyum sendiri ketika mengingatnya. Waktu itu hari pertama sekolah dan saya terlambat datang, begitu juga dia. Kami berdua berlari menuju gerbang sekolah yang sudah mau ditutup. Tapi begitu sudah dekat dengan gerbang sekolah tiba-tiba kaki saya tersandung batu kerikil dan menabrak dia yang berlari didepan saya. Kami pun jatuh secara bersamaan. Alhasil kami terlambat masuk kelas.
     Penderitaan kami belum sampai situ, kami masih harus menjalani hukuman yang diberikan oleh kakak kelas karena memang waktu itu kami masih dalam kegiatan OSPEK. Setelah capek dibentak dan dihukum tiba waktunya untuk istirahat dan disitulah kami berkenalan walaupun awalnya kita agak gengsi.
     Oh iya, nama saya Calvin, tapi Sofia biasa panggil saya Kepin. Kata dia biar gampang dan mudah diingat. Saya juga manggil dia dengan sebutan Opi. Saya itu anak yang egois, keras kepala, tidak mau mengalah sama orang lain dan selalu ingin menang sendiri. Tapi itu dulu, ketika saya baru masuk SMA dan belum terlalu dekat dengan Sofia. Ya sedikit demi sedikit sifat saya berubah karena dia, itulah alasannya kenapa saya akrab sekali dengan dia. Hampir setiap hari kita selalu bersama, entah itu ke kantin, perpustakaan, nongkrong dan sebagainya. Makanya banyak yang menyangka kalau kita itu pacaran. Padahal nyatanya kita cuma sahabatan doang, nggak lebih.
     Tapi lambat laun hati saya mulai berontak jika dibilang kami hanya sahabat. Ada keinginan yang lebih didalam hati ini dari sekedar sahabat. Rasa suka ini perlahan berubah menjadi sayang dan kemudian cinta. Ya, saya mulai jatuh cinta kepada Sofia. Jatuh cinta karena perhatian dia, karena sikap dia dan karena dia yang selalu ada ketika saya membutuhkan dia. Tapi perasaan ini saya simpan rapat dalam hati, saya tidak mau mengungkapkannya karena saya tidak ingin kehilangan dia, orang yang sangat berarti buat saya.
      Sampai akhirnya malapetaka itu datang. Ketika itu Sofia menelpon saya dengan nada yang sangat gembira.
“Halo, Pin, kamu tau nggak aku seneng banget loh hari ini.”
“Oh ya, seneng kenapa, Pi?”
“Tadi kan aku abis jalan sama kak Dimas, diajak dinner gitu. Eh taunya aku ditembak sama dia. Aaaa seneng banget deh pokoknya.”
      Saya terhenyak untuk beberapa saat, kaget mendengar apa yang baru saja Sofia katakan. Seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja saya dengar.
“Woy! Kepin! Kamu kok diem sih? Enggak dengerin aku ngomong ya tadi?!”
“Eh, iya iya aku dengerin kamu kok. Hehe. Terus gimana kamu terima dia, Pi?”
“Ya iyalah aku terima, kan kamu tau sendiri kalo aku juga suka sama dia.”
      Kembali ada hening beberapa saat ketika saya mendengar jawaban dari Sofia.
“Heh! Diem lagi kan. Bukannya ngasih selamat atau apa kek gitu!”
“Kalo gitu selamat ya udah jadian sama dia. Eh udah dulu ya Pi aku mau ada perlu nih, bye.” Treq, telepon pun segera saya matikan, agar segera menghentikan pembicaraan ini. Sementara disana Sofia bingung karena tiba-tiba telponnya langsung dimatikan.
      Saya pun melamun diatas kasur, “Kenapa semua ini harus terjadi, Tuhan.” gumam saya. Memang sih sebulan terakhir ini Sofia lagi dekat sama Dimas dan setiap kali dia curhat pasti selalu ngomong tentang Dimas, sampai bosan saya mendengarnya. Sejujurnya saya tidak terlalu suka sama Dimas, karena dia itu anaknya begajulan dan suka gonta-ganti cewek alias playboy. Tapi saya tidak sampai hati untuk mengatakan itu pada Sofia, saya takut dia sakit hati dan saya enggak mau itu terjadi. Munafik memang, tapi itulah cinta. Seseorang akan melakukan apa saja demi cinta.
      Hari-hari saya selanjutnya terasa begitu berbeda karena sekarang saya sudah jarang bersama dengan Sofia lagi. Dia terlalu sibuk dengan pacarnya, sampai enggak ada waktu buat nemenin saya walaupun hanya sekedar belajar bersama. Ada perasaan yang aneh ketika saya tidak bersama dia, seolah separuh jiwa saya kosong, menghilang entah kemana.
      Sampai pada suatu hari ketika saya sedang mencari buku di sebuah pusat perbelanjaan saya melihat Dimas sedang jalan bergandengan tangan dengan cewek lain. Sontak saya kaget, karena waktu itu dia masih berstatus pacarnya Sofia. Akhirnya saya telpon Sofia untuk memberitahu kalau si Dimas sedang jalan dengan cewek lain.
 “Halo, Pi, kamu lagi dimana?”
“Dirumah, kenapa emang, Pin?”
“Tadi aku liat Dimas lagi jalan sama cewek, Pi. Aku kira itu kamu tapi ternyata bukan.”
“ Oh, haha, iya Pin tadi Dimas emang ijin sama aku mau nganterin mamahnya ke Mall.”
“Tapi cewek ini masih muda, Pi, jelas banget dia bukan mamahnya Dimas!”
“Jangan ngawur kamu Pin, enggak mungkin Dimas selingkuh! Udah deh jangan ngasal!” Sofia pun menutup telponnya karena marah kepada saya.
      Saya yang tidak ingin Sofia punya pacar brengsek akhirnya memfoto semua kejadian itu dan berniat memperlihatkannya pada Sofia di sekolah.
      Besoknya sepulang sekolah, ketika Sofia sedang berjalan dengan Dimas, saya pun menghampiri mereka dan memperlihatkan foto-foto tersebut. Dimas kaget melihat foto itu dan langsung meninju muka saya agar tidak berbicara lebih banyak lagi. Saya yang tidak siap menerima pukulan itu terjerembab ke belakang, tapi kemudian saya bangkit dan balik menghajar dia. Akhirnya terjadilah perkelahian antara saya dan Dimas. Setelah dilerai oleh beberapa orang, perkelahian pun berhenti dan Sofia mendekati saya. PLAK! Dia menampar saya tanpa berkata apapun dan kemudian pergi menuju Dimas.
      Saya yang masih emosi kemudian berkata “Aku sayang sama kamu, Pi. Dan rasa sayang ini udah melewati batas sahabat, aku cinta kamu, makanya aku ngelakuin ini semua karena enggak mau kamu punya pacar kayak dia.” Kata-kata itu seolah keluar begitu saja dari mulut saya, mewakili hati yang tidak bisa mengucapkannya secara langsung.
      Sofia kaget mendengar itu dan balik bertanya “Kamu serius ngomong kayak gitu, Pin?”
“Aku serius Pi. Tapi itu semua udah enggak ada artinya lagi karena kamu lebih memilih dia kan daripada aku.” Setelah berkata seperti itu saya pun pergi meninggalkan mereka dengan membawa hati yang terkoyak luka.
      Setelah kejadian itu saya pun menjauh dari kehidupan Sofia. Setiap saya bertemu atau berpapasan dengan dia selalu saya buang muka dan sebisa mungkin tidak melihat dia. Tidak ada lagi tawa renyah dari gadis manis itu, tidak ada lagi cubitan mesra dan pukulan manja dari dia. Sekarang, yang tersisa hanya luka dan kenangan. Tapi saya bertekad untuk melaluinya sendiri, tanpa ada nama dia lagi disini, di hati ini.

Bersambung...

1 komentar:

  1. Waalaikumsalam :)
    terima kasih udah mampir, salam buat semua anggotanya ya :)

    BalasHapus