Namanya Sofia, dia gadis manis yang periang, lucu, bawel dan kadang suka galau.
Pertama kali saya ketemu dia itu ketika kita sama-sama sekolah di salah satu
SMA di kota Bandung. Cara
perkenalannya pun cukup unik, saya masih suka tersenyum sendiri ketika
mengingatnya. Waktu itu hari pertama sekolah dan saya terlambat datang, begitu
juga dia. Kami berdua berlari menuju gerbang sekolah yang sudah mau ditutup.
Tapi begitu sudah dekat dengan gerbang sekolah tiba-tiba kaki saya tersandung
batu kerikil dan menabrak dia yang berlari didepan saya. Kami pun jatuh secara
bersamaan. Alhasil kami terlambat masuk kelas.
Penderitaan
kami belum sampai situ, kami masih harus menjalani hukuman yang diberikan oleh
kakak kelas karena memang
waktu itu kami masih dalam kegiatan OSPEK. Setelah capek dibentak dan dihukum
tiba waktunya untuk istirahat dan disitulah kami berkenalan walaupun awalnya
kita agak gengsi.
Oh iya,
nama saya Calvin, tapi Sofia biasa panggil saya Kepin. Kata dia biar gampang
dan mudah diingat. Saya juga manggil dia dengan sebutan Opi. Saya itu anak yang
egois, keras kepala, tidak mau mengalah sama orang lain dan selalu ingin menang
sendiri. Tapi itu dulu, ketika saya baru masuk SMA dan belum terlalu dekat
dengan Sofia. Ya sedikit demi sedikit sifat saya berubah karena dia, itulah
alasannya kenapa saya akrab sekali dengan dia. Hampir setiap hari kita selalu
bersama, entah itu ke kantin, perpustakaan, nongkrong dan sebagainya. Makanya
banyak yang menyangka kalau kita itu pacaran. Padahal nyatanya kita cuma
sahabatan doang, nggak lebih.
Tapi lambat laun hati saya mulai berontak
jika dibilang kami hanya sahabat. Ada keinginan yang lebih didalam hati ini
dari sekedar sahabat. Rasa suka ini perlahan berubah menjadi sayang dan
kemudian cinta. Ya, saya mulai jatuh cinta kepada Sofia. Jatuh cinta karena
perhatian dia, karena sikap dia dan karena dia yang selalu ada ketika saya
membutuhkan dia. Tapi perasaan ini saya simpan rapat dalam hati, saya tidak mau
mengungkapkannya karena saya tidak ingin kehilangan dia, orang yang sangat
berarti buat saya.
Sampai akhirnya
malapetaka itu datang. Ketika itu Sofia menelpon saya dengan nada yang sangat
gembira.
“Halo, Pin, kamu tau nggak aku seneng banget loh hari ini.”
“Oh ya, seneng kenapa, Pi?”
“Tadi kan aku abis jalan sama kak Dimas, diajak dinner gitu.
Eh taunya aku ditembak sama dia. Aaaa seneng banget deh pokoknya.”
Saya terhenyak
untuk beberapa saat, kaget mendengar apa yang baru saja Sofia katakan. Seolah
tidak percaya dengan apa yang baru saja saya dengar.
“Woy! Kepin! Kamu kok diem sih? Enggak dengerin aku ngomong
ya tadi?!”
“Eh, iya iya aku dengerin kamu kok. Hehe. Terus gimana kamu
terima dia, Pi?”
“Ya iyalah aku terima, kan kamu tau sendiri kalo aku juga
suka sama dia.”
Kembali ada
hening beberapa saat ketika saya mendengar jawaban dari Sofia.
“Heh! Diem lagi kan. Bukannya ngasih selamat atau apa kek
gitu!”
“Kalo gitu selamat ya udah jadian sama dia. Eh udah dulu ya
Pi aku mau ada perlu nih, bye.” Treq, telepon pun segera saya matikan, agar
segera menghentikan pembicaraan ini. Sementara disana Sofia bingung karena
tiba-tiba telponnya langsung dimatikan.
Saya pun melamun
diatas kasur, “Kenapa semua ini harus terjadi, Tuhan.” gumam saya. Memang sih
sebulan terakhir ini Sofia lagi dekat sama Dimas dan setiap kali dia curhat
pasti selalu ngomong tentang Dimas, sampai bosan saya mendengarnya. Sejujurnya
saya tidak terlalu suka sama Dimas, karena dia itu anaknya begajulan dan suka
gonta-ganti cewek alias playboy. Tapi saya tidak sampai hati untuk mengatakan
itu pada Sofia, saya takut dia sakit hati dan saya enggak mau itu terjadi.
Munafik memang, tapi itulah cinta. Seseorang akan melakukan apa saja demi
cinta.
Hari-hari saya
selanjutnya terasa begitu berbeda karena sekarang saya sudah jarang bersama
dengan Sofia lagi. Dia terlalu sibuk dengan pacarnya, sampai enggak ada waktu
buat nemenin saya walaupun hanya sekedar belajar bersama. Ada perasaan yang
aneh ketika saya tidak bersama dia, seolah separuh jiwa saya kosong, menghilang
entah kemana.
Sampai pada suatu
hari ketika saya sedang mencari buku di sebuah pusat perbelanjaan saya melihat
Dimas sedang jalan bergandengan tangan dengan cewek lain. Sontak saya kaget,
karena waktu itu dia masih berstatus pacarnya Sofia. Akhirnya saya telpon Sofia
untuk memberitahu kalau si Dimas sedang jalan dengan cewek lain.
“Halo, Pi, kamu lagi
dimana?”
“Dirumah, kenapa emang, Pin?”
“Tadi aku liat Dimas lagi jalan sama cewek, Pi. Aku kira itu
kamu tapi ternyata bukan.”
“ Oh, haha, iya Pin tadi Dimas emang ijin sama aku mau
nganterin mamahnya ke Mall.”
“Tapi cewek ini masih muda, Pi, jelas banget dia bukan
mamahnya Dimas!”
“Jangan ngawur kamu Pin, enggak mungkin Dimas selingkuh!
Udah deh jangan ngasal!” Sofia pun menutup telponnya karena marah kepada saya.
Saya yang tidak
ingin Sofia punya pacar brengsek akhirnya memfoto semua kejadian itu dan
berniat memperlihatkannya pada Sofia di sekolah.
Besoknya sepulang
sekolah, ketika Sofia sedang berjalan dengan Dimas, saya pun menghampiri mereka
dan memperlihatkan foto-foto tersebut. Dimas kaget melihat foto itu dan
langsung meninju muka saya agar tidak berbicara lebih banyak lagi. Saya yang
tidak siap menerima pukulan itu terjerembab ke belakang, tapi kemudian saya
bangkit dan balik menghajar dia. Akhirnya terjadilah perkelahian antara saya
dan Dimas. Setelah dilerai oleh beberapa orang, perkelahian pun berhenti dan
Sofia mendekati saya. PLAK! Dia menampar saya tanpa berkata apapun dan kemudian
pergi menuju Dimas.
Saya yang masih emosi kemudian berkata “Aku sayang sama
kamu, Pi. Dan rasa sayang ini udah melewati batas sahabat, aku cinta kamu,
makanya aku ngelakuin ini semua karena enggak mau kamu punya pacar kayak dia.”
Kata-kata itu seolah keluar begitu saja dari mulut saya, mewakili hati yang
tidak bisa mengucapkannya secara langsung.
Sofia kaget
mendengar itu dan balik bertanya “Kamu serius ngomong kayak gitu, Pin?”
“Aku serius Pi. Tapi itu semua udah enggak ada artinya lagi
karena kamu lebih memilih dia kan daripada aku.” Setelah berkata seperti itu saya
pun pergi meninggalkan mereka dengan membawa hati yang terkoyak luka.
Setelah kejadian
itu saya pun menjauh dari kehidupan Sofia. Setiap saya bertemu atau berpapasan
dengan dia selalu saya buang muka dan sebisa mungkin tidak melihat dia. Tidak
ada lagi tawa renyah dari gadis manis itu, tidak ada lagi cubitan mesra dan pukulan
manja dari dia. Sekarang, yang tersisa hanya luka dan kenangan. Tapi saya
bertekad untuk melaluinya sendiri, tanpa ada nama dia lagi disini, di hati ini.
Bersambung...